Saya ingat, perjalanan pertama saya adalah ketika SD kelas 1 ikut Ayah saya ke Semarang waktu adiknya nikahan di sana. Setelah selesai hajatan, Ayah saya mengajak saya mampir pulang ke kampungnya di Kroya, Cilacap. Kala itu listrik belum masuk desa, penduduk masih mengandalkan lampu minyak sebagai penerang. Tengah malam, melewati sawah-sawah yang luas, gelap, cuma terlihat sebagian kecil lampu-lampu minyak di perumahan penduduk yang gemerlapan. Sepanjang perjalanan cuma ditemani kunang-kunang hijau kuning mengikuti lampu mobil, dan ribuan bintang yang bertaburan di langit, serta angin malam yang membawa aroma sawah masuk ke dalam mobil yang selama perjalanan jendela dibuka dan tak pasang ac. Wow! Saya jatuh cinta. Benar-benar pengalaman yang langka buat saya yang selama ini cuma berkutat seputar Jakarta sebagai anak kecil, dari satu pertokoan ke pertokoan yang lain - dimana waktu itu yang paling canggih dan paling dekat dari rumah saya cuma pertokoan yang bernama Ratu Plaza. Saya begitu terpukaunya. Pada alam ciptaan Allah, pada suasana yang berbeda dari yang biasa saya alami sehari-hari, sungguh pengalaman yang menakjubkan buat saya. Selanjutnya, bisa ditebak. Sebisa mungkin saya ikut Ayah saya setiap ada perjalanan dinas keluar kota. Lampung, Jambi, Padang, Medan, Bandung, Sukabumi, Surabaya, Wonosobo, Dieng, Malang, Probolinggo, dll. Walhasil, saya jadi salah satu (ehm, satu-satunya deh!) dari anak-anak di kelas yang punya catatan izin paling banyak. Yaa well, school is not everything, setidaknya itu yang dipahami Ayah saya. Bahwa pengalaman langsung lebih berarti ketimbang hanya melihat dari buku dan peta. Buktinya saya tetap ranking 5 besar di kelas. Seru kan?
Saat saya SMP dan SMA aktivitas jalan-jalan saya standar kegiatan atas nama sekolahan seputar Anyer, Puncak, Sukabumi, Bogor, Bandung dan sedikit curi-curi kesempatan naik gunung (karena Ibu saya selalu punya alasan yang tepat untuk saya tak dapat izin naik gunung), padahal itupun cuma seputaran gunung Gede-Pangrango dan mengatasnamakan kegiatan sekolah non Pecinta Alam (saya bukan anak PA). Kasian yaa saya. Bukan karena tak sanggup, tapi tak boleh.
Masuk kuliah, saya agak sedikit bebas dan punya waktu yang lebih fleksibel. Ditambah teman-teman yang juga hobi jalan. Plus punya sedikit tambahan uang jajan dari hasil part time menulis. Perjalanan ke Anyer di perpanjang sampai ke Carita, Labuan dan Tanjung Lesung. Ke Puncak juga hampir dipastikan selalu mampir ke Bandung coret dan sekitarnya. Bukan mau belanja FO to FO yang membosankan atau ngopi-ngopi di Dago (walaupun tetap dilakukan sih untuk menghilangkan sedikit penat atau sekedar numpang buang air kecil), tapi menikmati suasana alam yang berbeda, perjalanan yang lain dari biasanya, pengalaman baru yang belum pernah saya alami sebelumnya. Dan kebanyakan dari perjalanan-perjalanan saya lebih kepada perjalanan Wisata Arsitektural. Yang awalnya cuma sekedar untuk menyelesaikan tuntutan tugas kuliah, lama-lama menjadi passion. Misalnya melihat bangunan-bangunan bersejarah, galeri-galeri yang unik seperti Selasar Sunaryo atau work shopnya Nyoman Nuarte si pembuat patung Garuda Wisnu Kencana (yang sampai saat ini saya masih bingung kenapa dia buat work shop jauh-jauh di Bandung padahal patungnya di Bali dan dia sendiripun orang Bali). Atau cuma sekedar perjalanan "miskin" di akhir semester untuk menghilangkan kebosanan akibat rutinitas. Dengan keuangan yang seadanya, yang penting tangki bensin full dan bisa keliling Bandung. Pernah, waktu itu maksud hati mau ke titik paling tinggi di daerah Bandung untuk menikmati lampu-lampu kota tapi jadinya malah tersasar ke Taman Hutan Raya Juanda. Jalanan yang semakin kecil dan sempit membuat mobil jadi sulit berputar dan hampir masuk jurang. Pengalaman nyaris mati yang tak akan terlupakan!
Jalan-jalan terlama yang saya lakukan sewaktu kuliah adalah Studi Observasi Jawa-Bali. Cuma 10 hari, tapi seru luar biasa karena selain jalan-jalan saya juga sekalian belajar tentang Arsitektural Jawa dan Bali serta tata kotanya, dan pastinya foto-foto. Berawal dari Jakarta menuju Jogjakarta, Lanjut ke Semarang, Malang, Probolinggo, Surabaya lalu nyebrang ke Bali.
Kawasan Kota Lama Semarang, puas hunting bangunan kolonial disini.
Salah satu ornamen Arsitektural di Keraton Kesultanan Jogjakarta.
Taman Sari Jogjakarta. Dulu, ini tempat para Raja dan Ratu mandi dan bersantai.
Sunrise di Gunung Bromo, foto diambil dari sisi Pananjakan Point.
Di Bali, seperti hal-nya perjalanan ke Bali pada umumnya, saya mengunjungi Kuta, Legian, Sanur, Ubud, GWK, Kintamani, belanja di Sukowati dan lain sebagainya yang bisa dengan mudah di temukan di buku-buku pariwisata tentang Bali.
Garuda Wisnu Kencana
Pegunungan kapur yang dipotong dan dikeruk. Rencananya akan dibuat relief. Terakhir kesini tahun 2019, relief sudah lebih banyak dari pertama kali saya kesini di tahun 2001.
Setelah jalan-jalan Jawa-Bali saya tak banyak melakukan perjalanan. Sepanjang yang saya ingat, cuma wisata pantai seperti berkenalan dengan penyu di Ujung Genteng, bersepeda-ria di Gili Trawangan, melihat langsung kamarnya Nyi Roro Kidul di Pelabuhan Ratu dan lagi-lagi buang waktu ke Anyer atau Carita untuk sekedar menghilangkan penat. Sungguh nikmat aroma pantai, sampai akhirnya saya punya mimpi bisa berwisata pantai ke seluruh pantai-pantai indah yang ada di Indonesia - khususnya Indonesia bagian Timur.
Lulus kuliah saya pikir saya akan lebih banyak punya waktu luang untuk berwisata alam. Tapi ternyata saya salah karena saya langsung diterima kerja. Dan banyak waktu saya tersita untuk pekerjaan saya, termasuk hari libur yang sangat terbatas. Keseharian yang super sibuk bahkan kadang sampai lewat Isya masih di lapangan membuat saya lebih memilih menghabiskan weekend di tempat tidur. Tak ada yang spesial, cuma pernah ada sedikit pengalaman kerja di media yang akhirnya bisa membuat saya ber”wisata” gratis tisss! Bukan wisata alam bergumul dengan alam, pantai, pegunungan dan lain sebagainya. Tapi wisata kuliner dan wisata fashion! Dari cafe satu ke cafe yang lain, dari hotel satu ke hotel yang lain, dari restoran satu ke restoran yang lain, dari mall satu ke mall lain, dari butik satu ke butik lain. Masakan Oriental, Eropa, Indonesia, you named it! Puas makan sushi dan tempura di hotel Nikko, mabok ramen sama lamian di 5 restoran mie paling terkenal di Jakarta selama 2 hari berturut-turut, ketagihan escargot sama ikan mata sebelah yang super mantab di Madeleine, cari pernak-pernik lucu masuk keranjang belanja tanpa ke kasir, ketemu orang-orang aneh dengan gaya unik, artis-artis. Hmm, apalagi? Pokoknya semua serba gratis, diantar-jemput sopir menggunakan mobil ber-ac dannn, digaji! Awalnya yang saya pikir akan menyenangkan tapi ternyata membosankan, 6 bulan yang katanya teman-teman hidup glamor bisa membuat saya muak juga. Ternyata bukan di sana nafas saya.
Ketika akhirnya mendapat kesempatan untuk pindah kerja ternyata justru lebih menyita waktu saya. Full kerja Senin sampai Jumat ditambah kadang harus lembur di proyek hari Sabtu dan Minggu. Cuma ada satu kesempatan pergi ke Palembang waktu ada kerjaan dadakan dari teman mengerjakan "proyek" Bupati saat itu, bukan benar-benar di Palembang-nya, tapi masih 3 jam perjalanan ke arah Jambi. Namanya Sekayu - Musi Banyuasin. Justru di situ menyenangkannya. Sungguh tak disangka, di tempat terpencil begitu ada fasilitas-fasilitas super mewah yang didanai oleh Bupati-nya yang juga super tajir (dimana sampai sekarang saya masih bingung, kenapa seorang Bupati bisa kaya raya begitu. Ck ckk, lapangan golf, arena latihan tembak dan landasan helikopter di halaman belakang rumah cukup membuat saya shock!).
Oya, ada lagi perjalanan saya berikutnya dan itu adalah buat pertama dan terakhir kalinya outing bersama teman-teman kantor. Kemana? cukup ke Bandung. Saya berhasil membujuk mereka untuk tak hanya wisata factory outlet, tapi juga menikmati Kawah Putih yang membutuhkan sedikit perjuangan ke atas karena tiba-tiba turun hujan. Selain itu saya merasa puas juga karena berhasil mendapat penginapan rumah mewah di Dago Atas dengan biaya murah dengan kata lain faktor kedekatan dengan bos. Sebenarnya itu villanya si Bos yang kebetulan lagi kosong. Cuma keberuntungan.
Semoga akan ada lagi perjalanan-perjalanan indah berikutnya. Perjalanan yang dari dulu merupakan mimpi saya. Perjalanan dari satu pulau ke pulau lain di Indonesia. Dari satu negara ke negara lain di dunia. Pantai yang berbeda, pegunungan yang berbeda. Mencari pernik unik lokal setempat yang tak ada duanya di dunia atau sekedar berfoto pose sejuta umat di icon-icon tiap negara atau apapun itu yang menjadi ciri khas kota dan negara tersebut. Dan bayangkan betapa bumi yang luas dan indah dengan keberagamannya yang diciptakan Tuhan ini akan sangat terasa sia-sia sekali kalau tak kita jelajahi dan kita nikmati satu demi satu.
Travel is not about the destination, it's about the journey itself.
So just enjoy it.
~Bun
#bunbelajarnulis
Photo taken with Canon EOS 500
Scanned with Epson Stylus CX3500
Photo taken with Canon EOS 500
Scanned with Epson Stylus CX3500